Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bertahlilan Yang Sewajarnya saja

Banyak diantara warga yang melakukan acara 7 hari, 40 hari dan 100 hari dengan berhutang sana sini untuk memenuhi segala macam kebutuhan agar terdapat konsumsi sebagai dengan tetanggannya yang memang mampu. Hal inilah yang menjadi sebuah dilema tersendiri, bahwa disatu sisi kita ingin seperti yang orang lain, namun di satu sisi belum mampu alias tidak punya. 


Mau tahlilan atau kenduri selamatan yang berpahala dan tidak melanggar sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah melakukan dengan sewajarnya saja. Tanpa harus dipaksakan diri atau bahkan mempersulit diri. Oleh karena itu, mari kita kerjakan dengan ketentuan dibawah ini:

  1. Suguhan selamatan atau tahlilan janganlah diambilkan dari uang warisan yang ahli warisnya masih ada anak kecil atau mahjur 'alaih (termasuk gila). Karena yang demikian, menurut ulama' Syafi'iyah adalah tidak boleh. Ini perlu diperhatikan, agar kondisi tidak ada yang di dzalimi karena hak waris. Berbeda dengan ulama' Malikiyah yang memperbolehkan dengan alasan kebiasaan yang menjadi tradisi dikedudukkan seperti ada wasiat dari mayit. 
  2. Jangan berlebih-lebihan sehingga rela hutang sana hutang sini demi gengsi semata. Karena ini sudah keluar dari tujuan awal, yaitu mendoakan mayit. Jika sudah berhutang, maka wajib bayar, apapun kondisinya. 
  3. Hidangan yang disajikan kepada tamu tahlilan atau masyarakat hendaklah diniatkan pahalanya juga untuk mayit. Terdapat hadits shahih tentang itu dan bahkan merupakan ijma'  ulama'. Termasuk ijma' adalah mendoakan mayit. 
  4. Menghadiahkan bacaan al-Qur'an dan zikir-zikir kepada mayit dapat sampai kepada mayit menurut mayoritas ulama' Islam.
  5. Jangan meyakini tahlilan pada hari-hari tertentu, seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari, atau 1000 hari adalah datang (tsabit) dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Meyakini yang demikian adalah bid'ah (makruh), karena takhsis bila mukhossis adalah makruh. Cukup sebagai tradisi tersebut dikerjakan karena sedekah dan juga membaca al-Qur'an atau zikir untuk mayit adalah diperbolehkan menurut ulama' Ahlussunnah wal Jama'ah serta hari dan waktu bisa kapanpun, tanpa ditentukan dengan keyakinan harus.  
  6. Saat mengundang masyarakat hendaklah diniatkan untuk berkumpul membaca al-Qur'an dan zikir bersama-sama. Dan dalil untuk itu sangat banyak. Imam an-Nawawi dalam at-Tibyan telah menjelaskan ini dengan sangat baik. 
  7. Bagi yang belum bisa membaca surat Yasin (yang biasanya masyarakat kita membaca surat Yasin) sebaiknya diganti dengan zikir-zikir yang bisa dihafalnya. Jangan sampai memaksakan jika bacaan Qur'an jama'ahnya masih salah atau belepotan semua. Sebagai imam tahlil haruslah bijaksana dalam menyikapi syariat yang benar. 
  8. Dalam Tahlilan jangan dicampuri hal-hal yang berbau bid'ah munkar atau khurafat, seperti harus dengan membuat makanan khusus untuk arwah mayit, melepaskan burung dara yang diikatkan uang pada kakinya dengan karet, meyakini harus disediakan air kembang dan nanti disiramkan ke kuburan mayit yang didoakan, dan lain-lain yang tidak ada dasarnya. 
  9. Hormati (jangan memusuhi) sebagian kaum muslimin yang menganggap tahlilan atau kenduri selamatan bukan sebagai anjuran agama selama mereka bisa menghormati dan tidak menyesatkan atau mensyirikkan. 

Jika ketentuan atau poin-poin diatas bisa dikerjakan dengan baik, maka hajatan selamatan yang kita laksanakan insya Allah masih dalam batas-batas bid'ah hasanah yang berpahala. Bahkan tidak melanggar pernyataan Sayyid Zaini Dahlan dalam nukilan Kitab I'anah ath-Thalibin karangan Syaikh Abu Bakr Syatha' yang menyatakan makruh.  

Adapun tuduhan bahwa tahlilan adalah tradisi Hindu sepenuhnya tidak dapat dibuktikan secara valid dan cenderung dijadikan ajang propaganda oleh seorang ngustadz yang mengakui mantan orang Hindu untuk menarik simpati jama'ahnya. Termasuk kedustaan sebagian kelompok bahwa tahlilan adalah persembahan kepada dayang-dayang penunggu desa atau ma'tam yang dilarang oleh ulama'. 

Membela secara membabi buta tradisi selamatan masyarakat yang dilakukan dengan berbagai bentuk dan variannya yang tak jarang tercampuri khurafat dan bid'ah adalah sangat tidak bijak. Begitu juga mengkritik atau menyesatkan secara serampangan seperti yang dilakukan oleh kaum pemonopoli kebenaran juga tidak tepat. Yang benar adalah bersikap adil atas dasar ilmu bukan fitnah dan pembelaan dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Posting Komentar untuk "Bertahlilan Yang Sewajarnya saja"