Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ayo kita Tahlilan, Ayo Kita Yasinan

Ayo Tahlil !!! Mengungkap Dalil-dalil Sampainya Hadiah Pahala Amal Shaleh Bagi Mayit

Pengertian Dan Hukum Tahlil

Tahlil diambil dari bahasa Arab “at-Tahlil” yang berarti membaca kalimat Tauhid “La Ilaha Illallah”. Namun makna tahlil melebar dari makna aslinya dalam bahasa Arab. Tahlil dalam tradisi kita berarti rangkaian acara yang terdiri dari membaca beberapa ayat dan surat dari al-Qur’an seperti al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas, ayat al-Kursi,awal dan akhir dari surat al-Baqarah, membaca dzikir-dzikir seperti tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan semacamnya, kemudian diakhiri dengan doa dan hidangan makan. Semua rangkaian acara ini dilakukan secara berjama'ah dan dengan suara yang keras.

Tahlil atau Tahlilan hukumnya adalah boleh dalam syari’at Islam. Karena semua acara yang ada dalam rangkaian tahlil tidak ada sesuatu apapun yang terlarang. Dalil-dalil yang menunjukkan kebolehan tahlilan dapat dilihat dalam dalil-dalil tentang membaca al-Qur’an untuk mayit, dzikir berjama’ah dan penjelasan di atas tentang perkara-perkara yang bermanfa’at untuk mayit.

Rasulullah bersabda:

اِسْتَكْثِرُوْا مِنَ البَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ ، قيل : وَمَا هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: التَّكْبِيْرُ وَالتَّهْلِيْلُ وَالتَّحْمِيْدُ وَالتَّسْبِيْحُ وَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ (رواه ابن حبان والحاكم وصحّحاه وأحمد وأبو يعلى وإسناده حسن)

“Perbanyaklah oleh kalian dari al-Baqiyat ash-Shalihat…!”. Ditanyakan kepada Rasulullah: Apakah al-Baqiyat ash-Shalihat itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Takbir, Tahlil, Tahmid, Tasbih dan “La Haula Wa La Quwwata Illa Billah”. (HR. Ibn Hibban, al-Hakim dan keduanya menyatakan shahih. Juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya’la dengan sanad yang Hasan)

Tahlilan pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya.

Tradisi umat Islam mengundang para tetangga ke rumah keluarga mayit, kemudian keluarga tersebut memberi makan kepada mereka adalah untuk tujuan sedekah yang pahalanya dihadiahkan bagi mayit. Kemudian orang-orang yang diundang tersebut, mereka semua berkumpul dalam rangka membaca al-Qur’an untuk mayit. Dengan demikian jelas dua hal ini boleh dilakukan. 

Pertama, sedekah yang pahalanya diniatkan untuk mayit dibenarkan oleh banyak hadits Rasulullah, di antaranya hadits Shahih al-Bukhari seperti disebutkan di atas. 

Kedua, membaca al-Qur’an untuk mayit, menurut mayoritas para ulama salaf dan Al-Imam madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali pahalanya akan sampai kepada mayit, demikian dijelaskan oleh as-Suyuthi dalam Syarh ash-Shudur dan dikutip serta disetujui oleh al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin seperti telah dijelaskan dalam bab Membaca al-Qur’an untuk mayit. Al-Muhaddits asy-Syekh ‘Abdullah al-Harari berkata:

وَمَا شهرَ مِنْ خِلافِ الشّافِعي أنّ القراءةَ لاَ تَصِلُ إلى الميت فهُوَ مَحمُولٌ على القراءة التي تكُونُ بلا دُعَاء بالإيصَال وبغير ما كانت القراءةُ علَى القبر، فإنّ الشافعيَّ أقرَّ على ذلك.

“Adapun pendapat populer bahwa Al-Imam asy-Syafi’i menyatakan bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayyit; maka yang dimaksud adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa i-shal (doa agar disampaikan pahala bacaan kepada mayyit), atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayit. Oleh karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al-Qur’an dengan diakhiri doa i-shal dan membaca al-Qur’an di atas kuburan mayit)”.[1]

Adapun berkumpul untuk mendoakan mayit dan membaca al-Qur’an untuknya pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya hukumnya adalah sebagai berikut :

1. Berkumpul di hari ke tiga tujuannya adalah berta’ziyah.

2. Berkumpul setelah hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah bagi yang belum. Bagi yang sudah berta'ziyah, berkumpul saja pada hari-hari tersebut bukanlah hal yang mutlak sunnah, tetapi tujuan berkumpul tersebut adalah untuk membaca al-Qur’an dan itu diperbolehkan dan semuanya mengajak kepada kebaikan. Allah berfirman:

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الحج: 77)

“Lakukanlah hal yang baik agar kalian beruntung” (QS. al-Hajj: 77).

Menghidangkan Makanan Untuk Orang Yang Datang Ta'ziyahAtau Menghadiri Undangan Membaca al-Qur’an

Menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit untuk orang yang datang ta’ziyah atau menghadiri undangan membaca al-Qur’an adalah boleh karena itu termasuk Ikram adl-Dlayf (menghormat tamu). Dan dalam Islam, menghormati tamu adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan Hadits Jarir ibn ‘Abdillah al-Bajali bahwa ia berkata:

كُنَّا نَعُدُّ الاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ (رواه أحمد بسند صحيح)

“Kami di masa Rasulullah menganggap berkumpul di tempat mayit dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayit sebagai Niyahah (meratapi mayit yang dilarang oleh Islam)”. (HR. Ahmad dengan sanad Shahih) 

yang dimaksudnya adalah jika keluarga mayit membuat makanan untuk dihidangkan kepada orang-orang yang hadir dengan tujuan al-Fakhr; yaitu untuk tujuan berbangga diri supaya orang-orang tersebut mengatakan bahwa keluarga mayit adalah keluarga pemurah dan dermawan. Atau makanan tersebut disajikan kepada perempuan-perempuan agar menjerit-jerit, meratap sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan mayit, dan inilah tradisi yang biasa dilakukan oleh orang-orang di masa jahiliyah, mereka yang tidak beriman kepada akhirat itu. Inilah yang dimaksud dengan an-Niyahah; perbuatan orang-orang di masa jahiliyyah dan dilarang oleh Rasulullah. Jika menyediakan makanan bukan untuk tujuannya itu, melainkan untuk menghormat tamu atau bersedekah bagi mayit dan meminta tolong agar dibacakan al-Qur’an untuk mayit maka hal itu boleh dan tidak terlarang.

Faedah Penting; Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i dalam kitab al-Adzkarmenuliskan sebagai berikut:

وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ الإِكْثَارُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْءَانِ وَالذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ لِأَهْلِ تِلْكَ الْمَقْبَرَةِ وَسَائِرِ الْمَوْتَى وَالْمُسْلِمِيْنَ أَجْمَعِيْنَ.

“Dan disunnahkan bagi orang yang berziarah kubur untuk memperbanyak membaca al-Qur’an, dzikir dan berdoa untuk ahli kubur yang ada di pekuburan tersebut, dan untuk seluruh orang-orang yang telah meninggal dan kaum muslimin semuanya”[2].

Asy-Syekh Mar'i al-Hanbali, salah seorang ulama terkemuka dalam Madzhab Hanbali, dalam kitab fikih Hanbali karya beliau berjudul Ghayah al-Muntaha menuliskan sebagai berikut:

وَلاَ بَأْسَ بِلَمْسِ قَبْرٍ بِيَدٍ لاَ سِيَّمَا مَنْ تُرْجَى بَرَكَتُهُ، وَسُنَّ فِعْلُ مَا يُخَفِّفُ عَنْ الْمَيِّتِ وَلَوْ بِجَعْلِ جَرِيْدَةٍ رَطْبَةٍ فِيْ الْقَبْرِ وَذِكْرٍ وَقِرَاءَةٍ عِنْدَهُ. وَتُسْتَحَبُّ قِرَاءَةٌ بِمَقْبَرَةٍ، وَكُلُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا مُسْلِمٌ وَجَعَلَ بِالنِّـيَّةِ -فَلاَ اعْتِبَارَ بِاللَّفْظِ- ثَوَابَهَا أَوْ بَعْضَهُ لِمُسْلِمٍ حَيٍّ أَوْ مَيِّتٍ جَازَ وَيَنْفَعُهُ ذَلِكَ بِحُصُوْلِ الثَّوَابِ لَهُ. وَإِهْدَاءُ الْقُرَبِ مُسْتَحَبٌّ حَتَّى لِلرَّسُوْلِ صلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ مِنْ تَطَوُّعٍ وَوَاجِبٍ تَدْخُلُهُ نِيَابَةٌ كَحَجٍّ أَوْ لاَ كَصَلاَةٍ، وَدُعَاءٍ وَاسْتِغْفَارٍ وَصَدَقَةٍ وَأُضْحِيَةٍ وَأَدَاءِ دَيْنٍ وَصَوْمٍ وَكَذَا قِرَاءَةٌ وَغَيْرُهَا.

“Dan tidak mengapa (boleh) menyentuh kuburan dengan tangan, terlebih kuburan orang yang diharapkan berkahnya. Dan disunnahkan melakukan sesuatu yang bisa meringankan mayit; meskipun hanya dengan meletakkan pelepah kurma basah di kuburan, atau dengan dzikir dan membaca al-Qur’an di kuburan. Disunnahkan membaca al-Qur’an di kuburan. Dan setiap ketaatan yang dilakukan oleh seorang muslim dan ia jadikan pahalanya, (dengan meniatkan hal itu, artinya tidak harus mengucapkannya dengan lisan) semuanya atau sebagiannya untuk sesama muslim yang masih hidup atau telah meninggal, maka hukumnya adalah boleh dan bermanfaat bagi mayit sehingga ia memperoleh pahala. Menghadiahkan ketaatan juga disunnahkan, bahkan bagi Rasulullah sekalipun, baik berupa amalan sunnah, amalan wajib yang bisa digantikan seperti haji atau tidak bisa digantikan seperti shalat, doa, istighfar, sedekah, kurban, membayar hutang, puasa, demikian pula bacaan al-Qur’an dan lainnya”[3].

Perkataan asy-Syekh Mar'i al-Hanbali ini menunjukkan bahwa dalam madzhab Hanbali ada beberapa perkara yang diperbolehkan dan disunnahkan berkait dengan masalah tabarruk (mencari berkah), dan menghadiahkan pahala ibadah untuk mayit. Di antaranya:

  1. Boleh menyentuh kuburan dengan tujuan tabarruk.
  2. Disunnahkan melakukan sesuatu yang bisa meringankan mayit di kuburnya. Seperti meletakkan pelepah kurma basah di atas kuburan, dzikir, dan membaca al-Qur’an di kuburan.
  3. Disunnahkan membaca al-Qur’an di kuburan.
  4. Setiap ketaatan yang dilakukan oleh seorang muslim dan ia jadikan pahalanya, (dengan meniatkan hal tersebut, artinya tidak harus mengucapkannya dengan lisan) semuanya atau sebagiannya untuk sesama muslim yang masih hidup atau telah meninggal, maka hukumnya adalah boleh dan bermanfaat bagi sesama muslim baik yang masih hidup atau telah meninggal sehingga ia memperoleh pahala.
  5. Disunnahkan menghadiahkan ketaatan, bahkan kepada Rasulullah sekalipun, baik ketaatan tersebut berupa amalan sunnah, amalan wajib yang bisa digantikan seperti haji atau yang tidak bisa digantikan seperti shalat, ataupun menghadiahkan berupa doa, istighfar, sedekah, kurban, membayar hutang, puasa, demikian pula bacaan al-Qur’an dan lainnya.

Mengapa Ada Anjuran Tahlil Selama Tujuh Hari

Adanya anjuran tahlil selama tujuh hari dari setelah seorang mayit dikuburkan sebagai hadiah pahala dan doa baginya adalah oleh karena fitnah kubur atau ujian berat terhadap seorang mayit adalah tujuh hari pertama dari setelah dikuburkannya. Atsar yang menunjukan ini banyak diriwayatkan oleh para ulama, di antaranya oleh Al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab az-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Awliya’, Ibn Juraij dalam al-Mushannaf, dan ulama terkemuka lainnya. Semua riwayat-riwayat ini saling menguatkan satu atas lainnya. Atsar-atsar ini secara luas dijelaskan oleh al-Hafizhas-Suyuthi dalam risalah Thulu’ ats-Tsurayya dalam al-Hawi Li al-Fatawi[4].

Dalam riwayat Al-Imam Ahmad dalam Kitab az-Zuhddengan sanad-nya dari Al-Imam Thawus, -murid sahabat Abdullah ibn Abbas- bahwa ia (Thawus) berkata:

إنَّ الموْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُورِهم سَبْعًا فكانُوا يَسْتَحِبُّونَ أنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلكَ الأيَّام

“Sesungguhnya mayit-mayit (muslim) terkena fitnah dikubur mereka (dalam ujian berat) di kubur mereka selama tujuh hari, karena itu mereka (para ualama) sangat menganjurkan untuk diberi makan (artinya pahala sedekah makanan) bagi si-mayit dalam masa tujuh hari tersebut”[5].

Atsar riwayat Al-Imam Thawus ini dinyatakan sahih oleh al-Hafizh as-Suyuthi dengan beberapa alasan. Di antaranya;

1. Sanad atsar riwayat Al-ImamAhmad dari Thawus di atas dan para perawinya adalah sahih.

2. Kaedah yang ditetapkan dalam ilmu hadits apa bila suatu yang diriwayatkannya berisi perkara-perkara yang tidak didasarkan kepada pendapat akal (la majala li ar-ra’yi fih) maka riwayat tersebut dihukumi marfu’ (berasal dari Rasulullah); seperti perkara alam Barzakh, peristiwa-peristiwa Akhirat, dan lainnya.

3. Atsar dari al-Imam Thawus di atas dapat dikategorikan sebagai perkara yang tidak didasarkan kepada pendapat akal (la majala li ar-ra’yi fih) maka riwayat tersebut dihukumi marfu’.

4. Redakasi atsar al-ImamThawus di atas mengatakan: “kanu yastahibbun....” (artinya; mereka sangat menganjurkan), yang dimaksud dengan “mereka” adalah bisa jadi sebagai kebiasaan para ulama di kalangan Tabi’in (yaitu mereka yang di masa al-ImamThawus sendiri), lalu bila kemudian atsar ini dihukumi marfu’maka berarti yang dimaksud “mereka” adalah para Sahabat Rasulullah.

5. Atsar riwayat al-Imam Thawus ini banyak dikuatkan oleh riwayat-riwayat lainnya, di antaranya dari al-ImamMujahid, --yang juga murid sahabat Abdullah ibn Abbas--, berkata:

الأرواح على القبور سبعة أيام من يوم دفن الميت لا تفارقه

“Ruh-ruh di dalam kubur akan tetap ada (bersama jasad) selama tujuh hari dari hari pertama seorang mayit dikuburkan, ruhnya tidak berpisah darinya”[6].

Dalil-Dalil Anjuran Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit

Para ulama Ahlussunnah bersepakat bahwa doa dan istighfar seorang muslim yang masih hidup kepada Allah untuk orang yang telah meninggal memberikan manfaat baginya. Demikian juga bacaan al-Qur’an di atas kubur bermanfaat bagi mayit yang ada di dalam kubur tersebut. Dalil-dalil yang menunjukkan kebolehan membaca al-Qur’an untuk mayit sangat banyak. Di antaranya adalah:

1. Hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dan al-ImamMuslim bahwa Rasulullah membelah pelepah yang masih basah menjadi dua bagian. Kemudian Rasulullah menanamkan masing-masing dua pelepah tersebut di dua kuburan yang ada, seraya bersabda:

لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا  (رواه الشيخان)

“Semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa kubur selama pelepah ini belum kering”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Faedah Hadits:

Dapat diambil dalil dari hadits ini bahwa boleh menancapkan pohon dan membaca al-Qur’an di atas kubur. Jika pohon saja dapat meringankan adzab kubur maka terlebih lagi bacaan al-Qur’an dari seorang mukmin. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, menuliskan: “Para ulama mengatakan sunnah hukumnya membaca al-Qur’an di atas kuburan berdasarkan pada hadits ini. Karena jika bisa diharapkan keringanan siksa kubur dari tasbih-nya pelepah kurma apalagi dari bacaan al-Qur’an”[7].

Sudah barang tentu bacaan al-Qur’an dari seorang manusia itu lebih agung dan lebih bermanfaat bagi mayit daripada tasbih-nya pohon semata. Jika telah terbukti bahwa al-Qur’an memberikan manfaat bagi sebagian orang yang ditimpa bahaya dalam hidupnya, maka demikian pula bagi mayit.

2. Hadits riwayat al-Imam al-Bukhari bahwa suatu ketika as-Sayyidah ‘Aisyah berkata di hadapan Rasulullah: “Alangkah sakitnya kepalaku...”. Kemudian Rasulullah bersabda:

ذَاكِ لَوْ كَانَ وَأَنَا حَيٌّ فَأَسْتَغْفِرُ لَكِ وَأَدْعُوْ لَكِ (رواه البخاريّ)

“Jika itu terjadi (engkau sakit dan meninggal) dan aku masih hidup maka aku mohon ampun dan berdoa untukmu”. (HR. al-Bukhari)

Faedah Hadits:

Perkataan Rasulullah “Wa Ad’u Laki...” (Saya akan berdoa untukmu) ini, mencakup doa dengan segala bentuk dan macam–macamnya. Termasuk doa seseorang setelah membaca beberapa ayat dari al-Qur’an dengan tujuan supaya pahalanya disampaikan kepada mayit, seperti dengan mengatakan: “Allahumma Aushil Tsawaba Ma Qara’tuhu Ila Fulan...”, artinya: “Ya Allah sampaikanlah pahala bacaanku ini kepada si Fulan...”.

3. Hadits Ma'qil ibn Yasar bahwa Rasulullah bersabda:

اِقْرَءُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ (رَوَاهُ أبُو داوُد وَالنّسَائيّ في عَمَل اليَوْم وَاللّيْلَة وابْنُ مَاجَه وأحْمَدُ وَالحَاكِمُ وابْنُ حِبّان وصَحّحَه)

“Bacalah surat Yaasin untuk mayit kalian”. (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i dalam kitab 'Amal al-Yaum Wa al-Lailah, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim dan Ibn Hibban dan dishahihkannya).

Benar, hadits ini dinyatakan lemah (dla’if) oleh sebagian ahli hadits. Tetapi Ibn Hibban mengatakan hadits ini berkualitas shahih. Lalu Abu Dawud diam tidak mengomentari hadits ini, dengan demikian ia tergolong hadits hasan, sesuai dengan istilah Abu Dawud sendiri dalam kitab Sunan-nya bahwa hadits-hadits yang tidak ia komentari maka itu semua berderajat hasan. Kemudian al-Hafizh as-Suyuthi juga mengatakan bahwa hadits ini hasan[8].

Mengartikan “mayit”(dalam hadits di atas dengan kata jama’, yaitu “Mauta”) dalam hadits ini sebagai seorang al-Muhtadlar; artinya seorang yang sedang sekarat menghadapi kematiannya adalah sebuah pemahaman takwil. Dan takwil semacam ini tidak bisa diterima karena tidak berdasar serta berlainan dengan zhahir hadits tersebut. Karena mayit pada hakikatnya adalah orang yang telah meninggal. Sementara takwil harus didasarkan atas sebuah dalil yang menunjukan kebutuhannya. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Qaththan, guru dari al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani. Lihat penjelasan seperti ini dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarah Ihya’ ‘Ulumiddin karya al-Hafizh Murtadla az-Zabidi[9].

4. Hadits riwayat Al-Imam Ahmad ibn Hanbal bahwa Rasulullah bersabda:

يس قَلْبُ القُرْءَانِ لاَ يَقْرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ الآخِرَةَ إِلاَّ غُفِرَ لَهُ، وَاقْرَءُوْهَا عَلَى مَوْتَـاكُمْ (رواه أحمد)

“Yasin adalah hatinya al-Qur’an, tidaklah dibaca oleh seorangpun untuk tujuan mengharap ridla Allah dan akhirat kecuali diampuni oleh Allah akan dosa-dosanya, dan bacalah Yasin ini untuk mayit-mayit kalian”. (HR. Ahmad)

5. Al-Imam ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dan al-Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu'ab al-Iman meriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:

إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ، وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ، وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ. وَلَفْظُ الْبَيْهَقِيِّ: فَاتِحَةُ الْبَقَرَةِ، وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِيْ قَبْرِهِ. (رواه الطبراني والبيهقيّ وقال الحافظ ابن حجر: "أخرجه الطبرانيّ بإسناد حسن).

“Jika salah seorang di antara kalian meninggal maka jangan ditahan dan segerakan dibawa ke kuburannya, dan hendaklah dibaca al-Fatihah di dekat kepalanya”, Dalam lafazh riwayat al-Baihaqi: “(Di dekat kepalanya) Awal surat al-Baqarah, dan di dekat kakinya (hendaklah dibaca) akhir surat al-Baqarah, di dekat kuburnya”. (HR. ath-Thabarani dan al-Baihaqi, al-Hafizh Ibn Hajar berkata: Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabarani dengan sanad Hasan)

6. Al-Imam ath-Thabarani juga meriwayatkan dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir dari ‘Abdur Rahman ibn al-‘Ala’ ibn al-Lajlaj, bahwa ia berkata:

قَالَ لِيْ أَبِيْ: يَا بُنَيَّ، إِذَا أَنَا مِتُّ فَأَلْحِدْنِيْ، فَإِذَا وَضَعْتَنِيْ فِيْ لَحْدِيْ فَقُلْ: بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ثُمَّ سُنَّ عَلَيَّ الثَّرَى سَنًّا، ثُمَّ اقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِيْ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا، فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ ذلِكَ (روَاه الطَّبَرانِيّ وقال الحافظ الهيثميّ: رواه الطَّبَرانِيّ في الكبير ورِجَالُهُ مَوْثُوْقُوْنَ).

“Ayahku (yaitu al-‘Ala’) berkata kepadaku: Wahai anakku, jika aku mati maka buatkanlah liang lahat untukku, dan jika engkau telah meletakkanku di liang lahat maka ucapkanlah: “Bismillah Wa ‘Ala Millati Rasulillah”, kemudian timbunlah aku dengan tanah, lalu bacakan di dekat kepalaku permulaan surat al-Baqarah dan akhir surat al-Baqarah, karena aku telah mendengar Rasulullah mengatakan hal itu”. (HR. ath-Thabarani dan al-Hafizh al-Haitsami mengatakan: “Perawi-perawi hadits ini adalah orang-orang terpercaya”)

7. Al-Khallal juga meriwayatkan dalam kitab al-Jami’ dari Al-Imam asy-Sya’bi bahwa ia (asy-Sya’bi) berkata:

كَانَتْ الأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمْ مَيِّتٌ اِخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ لَهُ القُرْءَانَ.

“Tradisi para sahabat Anshar jika salah seorang di antara mereka meninggal, mereka akan datang ke kuburnya silih berganti dan membacakan al-Qur’an untuknya (mayit)”.

8. Ahmad ibn Muhammad al-Marrudzi berkata: “Saya mendengar Ahmad ibn Hanbal berkata: “Apabila kalian memasuki areal pekuburan maka bacalah surat al-Fatihah dan al-Mu'awwidzatain (al-Falaq dan an-Nas)dan surat al-Ikhlas dan hadiahkanlah pahalanya untuk ahli kubur, karena sesungguhnya pahala bacaan itu akan sampai kepada mereka”[10].

Bersambung...

Ditulis oleh KHOLIL ABU FATEH AL-ASY'ARI ASY-SYAFI'I AR-RIFA'I AL-QADIRI

---Catatan Kaki---

  • [1] Lihat risalah an-Naf'u al 'Amim Fi Intifa' al Mawta Bi al-Qur’an al 'Azhim, hal.18-46
  • [2]  al-Adzkar, h. 168
  • [3]  Ghayah al-Muntaha, j. 1, h. 259-260
  • [4] As-Suyuthi, al-Hawi Li al-Fatawi, j. 2, h. 178
  • [5] As-Suyuthi, al-Hawi Li al-Fatawi, j. 2, h. 179
  • [6] As-Suyuthi, al-Hawi Li al-Fatawi, j. 2, h. 185
  • [7]  al-Minhaj Bi Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 3, h. 202
  • [8] Penjelasan lebih lengkap tentang kualitas hadits ini berikut kandungan maknanya lihat al-Muhaddits asy-Syaikh ‘Abdullah al-Harari dalam kitab Izh-har al-‘Akidah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Akidah ath-Thahawiyyah, h. 294.
  • [9]  Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 10, h. 369-471
  • [10] Lihat kitab al-Maqashid al-Arsyad, j. 2, h. 338-339

Posting Komentar untuk "Ayo kita Tahlilan, Ayo Kita Yasinan"