Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Nyata Penting dari Seorang Ahli Ma’rifat dan juga Ahli Tauhid

Kisah ini dikutip oleh para ulama kita, di antaranya oleh Syaikh Abd al-Wahhab asy-Sya’rani dalam ath-Thabaqat al-Kubra, Syaikh Yusuf Isma’il an-Nabhani dalam Jami’ Karamat al-Awliya’, Ibn al-Imad al-Hanbali dalam Syadzrat adz-Dzahab Fi Akhbari Man Dzahab, dan lainnya. 


Bahwa dikisahkan suatu ketika Wali Allah yang sangat shaleh, yakni Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam kholwat-nya didatangi Iblis yang menyerupai sinar sangat indah, Iblis berkata:

“Wahai Abdal-Qadir, Aku adalah Allah, seluruh kewajiban telah aku gugurkan darimu, dan segala yang haram telah aku halalkan bagimu. Maka berbuatlah sesukamu, karena seluruh dosa-dosamu telah aku ampuni….”. 

Saat itu pula Syaikh Abdal-Qadir manjawab dengan lantang:

“Khasi’ta ya Iblis… Khasi’ta ya la’in… (Kurang ajar engkau wahai Iblis.. Kurang ajar engkau wahai makhluk terkutuk..)”.

Iblis tercengang kemudian mengaku bahwa dirinya adalah Iblis, lalu berkata:

“Wahai Abdal-Qadir, engkau telah mengalahkanku dengan ilmumu, padahal dengan cara ini aku telah menyesatkan sebanyak 70 orang lebih ahli ibadah (yang tidak berilmu)…”.

Dari kisah nyata ini para ulama kita menuliskan catatan penting, sebagai berikut:

*Syaikh Abd al-Qadir tahu bahwa yang datang tersebut adalah Iblis, karena Iblis menyerupai sinar*. Padahal Allah bukan sinar. Allah yang menciptakan segala sinar, maka Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya tersebut. Adapun nama Allah (dalam al-Asma’ al-Husna) “an-Nur”, bukan artinya bahwa Allah sebagai cahaya, tetapi artinya “Yang Maha memberi petunjuk”, sebagaimana telah dijelaskan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dalam penafsiran beliau terhadap firman Allah: “Allahu Nur as-Samawati…”. 

*Bahwa yang datang tersebut Iblis, adalah karena ia berkata bahwa segala kewajiban telah digugurkan, dan segala yang diharamkan telah ia halalkan*. Jelas, klaim semacam ini bukan dari syari’at Allah dan rasul-Nya, karena seseorang, setinggi apapun derajatnya, tidak akan pernah gugur darinya kewajiban shalat 5 waktu, puasa ramadan, juga tidak akan pernah menjadi halal baginya untuk berzina, mencuri, membunuh, dan perkara haram lainnya. Dengan demikian apabila ada yang mengaku dirinya “wali”, sementara ia meninggalkan kewajiban-kewajiban, atau mengerjakan perkara-perkara yang haram, maka ia bukanlah wali Allah, akan tetapi wali Iblis. 

*Bahwa yang datang tersebut Iblis, karena ia berkata-kata dengan huruf, suara, dan bahasa*. Padahal sifat Kalam Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa, karena bila demikian maka Allah sama dengan makhluk-Nya. Adapun kitab al-Qur’an; dalam bentuk tulisan-tulisan Arab, huruf-huruf, dibaca dengan lidah dan suara, ditulis di atas lembaran-lembaran, maka itu adalah UNGKAPAN (‘Ibarah) dari Kalam Dzat Allah. (lebih jelas baca tentang “al-Qur’an Kalam Allah”). 

*Bahwa yang datang tersebut Iblis, karena Iblis berada di tempat syaikh Abd al-Qadir*. Padahal Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Allah bukan benda yang dapat disentuh tangan (bukan Hajm Katsif; seperti manusia, tanah, tumbuhan, dll), dan Allah bukan benda yang tidak dapat disentuh dengan tangan (bukan Hajm Lathif; seperti cahaya, udara, ruh, dll). Allah yang menciptakan Hajm Katsif dan Hajm lathif, maka Allah bukan sebagai hajm (benda). Dan oleh karena Allah bukan benda maka Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda, seperti bergerak, turun, naik, memiliki tempat, memiliki arah, dan lainnya. Karena setiap benda dan sifat-sifatnya adalah makhluk Allah, dan Allah tidak sama dengan makhluk-Nya. Oleh karenanya, ulama kita sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. 

Amir al-Mu’minin Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata: 

*كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ, وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَان* 

*“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat, dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat”*

(Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333). 

Posting Komentar untuk "Kisah Nyata Penting dari Seorang Ahli Ma’rifat dan juga Ahli Tauhid"